Selasa, 13 Desember 2011

Motivasi

Cerita tentang ITB dan Orangtuaku

Ditulis Oleh Fakhria Itmainati S.Farm

Aku tak tahu pengen jadi apa waktu kecil, yang jelas bukan dokter karena aku pernah trauma ga bisa naik sepeda seminggu gara-gara pantat disuntik bu dokter!, tapi aku suka meneliti, aku sering bereksperimen dengan ayam dan kelinci ibuku yang mati, memasukkannya ke dalam karung, menguburnya, kemudian membongkarnya lagi untuk merangkai tulang-tulang penyusunnya. Ikut-ikutan memeriksa daging ayam seisinya dan mempelajari bagian-bagiannya sebelum dimasak jadi opor ayam lebaran. Atau mengumpulkan tulang-tulang ayam dan menaruhnya di kebun, hingga diterpa hujan dan panas, sampai bersih putih, lalu merangkainya buat mainan. Mengingat-ingat hobi masa kecilku itu, rasanya cocok juga bahwa cita-citaku adalah menjadi scientist hebat. Dan cita-cita itu semakin dekat setelah aku masuk ITB.


ITB adalah tempat kuliah impianku sejak SMP, semakin menguat ketika SMA, setiap ditanya: habis lulus SMA mau kuliah kemana? ITB! jawabku mantap.

Namun tahukah kamu? setiap kali mendengar cerita-ceritaku dan impian-impianku tentang ITB, hati ibuku teriris, ibu menangis dalam hati, Ayah pun tak kuasa berkata apa-apa. Namun ayah dan ibuku menyembunyikan semua itu, mereka hanya tersenyum bangga akan cita-cita anaknya yang tinggi itu. Ayahku seorang petani di sebuah kota kecil di Jawa Timur, dan ibuku hanyalah seorang guru SD honorer, saat itu kalau mau jadi guru berstatus pegawai negeri harus menyuap sekian puluh juta ke pemerintah. Nah masalahnya ibuku hanya suka menyuapi makan anaknya, ga suka menyuap jabatan, ga berkah katanya.

Dengan kondisi seperti itulah, akhirnya suatu ketika ibu dan ayah mengajakku bicara : bahwa ayah dan ibu tak punya cukup uang untuk menyekolahkanku tinggi dengan bayaran yang tinggi, (Jaman dulu 2006, masuk kedokteran UGM = bayar >100juta, ITB pun identik = USM >45 juta, kecuali lulus SPMB).

Aku ingat sekali saat itu, ibuku hanya menatapku dengan airmata tertahan, dan ayahku bilang " Ayah ndak punya uang kalo kamu mintanya sekolah macam itu, tapi Gusti Allah Maha Kaya, kalo minta yang mahal-mahal jangan ke Ayah ya nduk, minta ke Gusti Allah Saja sing Moho Kuoso".

Air mataku meleleh, lalu aku berlari membanting pintu kamar, menangis di atas bantal setragis-tragisnya, merasa ayah dan ibuku tak mampu mendukungku berlari lagi, merasa impianku tergunting begitu saja terhadap sesuatu bernama : u-a-n-g.

Lantas apa gunanya sampe SMA aku rangking satu kalo aku ga sekolah tinggi? aku kesal sekesal-kesalnya! marah! tapi tak tahu harus mengadu ke siapa, hati nuraniku juga kasian pada ayah dan ibuku. Aku terkagum-kagum pada orang-orang ber-jas putih di laboratorium, menuang zat kimia seperti di iklan obat dan shampo, asik dengan suatu penemuan penting, mana bisa aku seperti itu kalo ga sekolah tinggi? Hatiku dongkol!

Malam-malam selanjutnya adalah malam penuh doa kepada Yang Maha Kuasa, tentu saja itu yang dilakukan ayah dan ibuku, aku? hanya mau dibangunkan dini hari kalo Juventus-ku maen bola. Tak apa, kata ayah, lama-lama kamu nanti juga bisa paham. Dan benar, lama-lama aku merasa bahwa aku tak ada apa-apanya kalo aku tak berdoa.

Kelas 2, aku lolos seleksi olimpiade tingkat sekolah, lalu lolos ke tingkat kabupaten, provinsi, dan Nasional! dan saat itu pertama kali nya lah aku naik pesawat terbang! sangat keren rasanya, menuju Pekanbaru untuk Olimpiade Sains Nasional. Pembuat soal olimpiade adalah dosen-dosen ITB, dan mereka sangat gaya dan keren.

Lomba pun dimulai, aku mengerjakan, bingung, bisa menjawab, bingung lagi, tanganku berkeringat, lembar jawaban basah, bingung, mengerjakan lagi, aaah susah!, waktu habis. Begitu selama 2 hari. Nah, tepat beberapa jam sebelum pengumuman hasil lomba, saat itu tak ada pertandingan bola malam-malam, tapi aku berniat bangun sholat malam.

Aku bersimpuh, menangis (sebelumnya tak pernah aku menangis setelah sholat!), dan karena ga tau berdoanya gimana, aku cuma bilang "Ya Allah.. pliss... Perunggu satuu saja..pliss..". Aku tau diri lah, aku dari SMA kampung, melawan anak-anak SMA ibukota yang gayanya gaul kayak di tipi, berbahasa Indonesia dengan gaya gue-elo dan sangat kota (sedangkan aku medok jawa), dan aku merasa banyak soal yang sangat mentok di otak akhirnya ga kejawab. Duh, beneran keajaiban kalo misalnya aku dapet medali perunggu.

Dan benar! NAMAKU DIPANGGIL! sebagai peraih medali perunggu! medali itu dikalungkan ke leherku yang masih bergetar canggung, dan aku bersalaman dengan Mendiknas, dan Bu Presiden Megawati! (beneran kayak di tipi!), gugup! jangan-jangan aku masuk TVRI?

Sejak saat itulah kelegaan demi kelegaan dimulai, berkat si perunggu itu, aku digratiskan biaya 45 juta kalo lolos USM ITB. Mulailah aku belajar giat, hingga larut malam, hingga dini hari, ayah mengantarkan susu buatan ibu ke meja belajarku, kadang-kadang membeli kacang goreng dari warung sebelah, agar aku tetap terjaga dalam belajar.

Tekadku aku harus lolos USM! mengingat aku ga gitu jago matematika apalagi fisika, artinya sainganku bakal berat kalo harus lewat SPMB. Apalagi orangtuaku tak punya uang buat bimbingan belajar, kalopun ada itu di Solo atau Jogja, harus keluar uang lagi buat nge-kos, makin mahal, aku hanya bisa belajar di rumah, membaca dan menghabiskan soal sebanyak-banyaknya. Kata Pak Yohanes Surya pas di Pekanbaru, kalo kita punya keinginan kuat, alam semesta pasti membantu kita, semakin kita bersungguh-sungguh, alam semesta juga makin mati-matian membantu kita. Man Jadda Wajada, siapa bersungguh-sungguh pasti dapat, kata guru biologiku.

Akhirnya aku masuk ITB, jurusan Farmasi! Alhamdulillah tak terkira. Bayanganku jadi orang hebat ber-jas lab pun terwujud! soalnya di farmasi praktikumnya banyak banget. Dan ibuku baru mengaku bahwa tadinya mau menyekolahkanku ke Madiun atau Solo saja, ke akademi keperawatan. Namun sekarang, doa ayah dan ibuku terbayarkan sudah. Mereka tak tahu apa-apa kecuali : masuk ITB = jadi orang hebat. Dan mereka tak pernah salah.

Ketika haru biru sidang penerimaan mahasiswa baru, ayahku mengantarku ke Bandung, kami naik kereta ekonomi, tapi senangnya bukan main, karena setiap ditanya orang: mau kemana pak? "ITB!" jawaban yang berbuntut "waaah.. anaknya masuk ITB ya pak?", bangga sekali ayahku bilang "iya". Hehe. Kebahagiaan sepanjang jalan tak membuat kami risau akan 12 jam dalam kereta ekonomi yang lusuh, bau rokok, dan pengamen ribut.

Ayah kuajak keliling kampus sebelum ke sabuga, "Ini dulu kampusnya Pak Soekarno yah, Pak Habibi juga, sekarang aku jadi adik kelasnya, hehehe", ayahku hanya senyum senyum bangga mengamati gedung-gedung kampus. Sampai di Sabuga, aku masuk dan meninggalkan ayah sendiri di luar. Dan tebak apa yang terjadi saat ayahku di luar?

Ayahku dikira sopir!. Ayah tak punya teman kan, para orangtua yang lain berpakaian sangat elegan dan nampak kaya, bermobil mewah, barbaju mahal, dan lain-lain. Kemudian seorang sopir mobil mewah tiba-tiba menghampiri ayahku yang berwajah bau sawah-jawa-ndeso-asli, setelah bercakap-cakap basa basi melumerkan suasana, sopir itu bertanya, "Nganter pak?", "iya.. nganter anak saya", "Lho? anaknya masuk ITB ya pak? saya kira bapak sama kayak saya" *sopir*, ehehe, muka sopir gini-gini anak saya masuk ITB lho.. cerita ayahku setelah aku keluar sabuga.

Hingga 5 tahun kemudian (Oya, aku kuliah di ITB 4 tahun dengan beasiswa dari Tanoto foundation sampai lulus, dan sempat jadi Young Scientist Exchange Program student di Tokyo Institute of Technology selama 1 tahun di Jepang dengan beasiswa SATO foundation), ayah dan ibuku diundang ke Sabuga di acara wisuda, namun kali ini ibu meneteskan air mata dalam suasana yang berbeda, tak lagi khawatir impianku terjajah finansial, tak lagi khawatir anak gadisnya sedih karena dilarang bermimpi, tapi ITB telah mengubah segalanya, Ayah dan Ibuku pun terharu, bangga pada anak manisnya yang dulu cengeng suka banting-banting pintu, sekarang lulus sarjana dengan predikat cum laude dan berpeluang melanjutkan sekolah hingga PhD.



Salam semangat,

Fakhria Itmainati S.Farm

Sains dan Teknologi Farmasi , Institut Terkenal Banget 2006

Young Scientist Exchange Program, Biomolecular Engineering, Tokyo Institute of Technology 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar